21 November 2007

Surat Elektronik buat Teman dari Seorang Brodkaster Manula


Oleh: Zainal Abidin Suryokusumo


Semula, saya ingin menggunakan judul: “Surat Elektronik buat Teman, dari Seorang Brodkaster Veteran”. Saya pikir-pikir, kok jumawa amat saya ini. Oleh sebab itu, saya tukar “brodkaster manula”. Toh, KTP saya pun nggak perlu lagi diganti. Berlaku seumur hidup. Surat elektronik ini, saya maksudkan sebagai pengganti sms saya, yang acap “membaweli” anda.


Daripada menjadi bisul di muka, mending saya bicara. Toh ini negeri merdeka. Ketimbang mengganjal dihati, maka saya memilih untuk berbagi. Teman, konon, merupakan tempat yang paling pas untuk saling berbagi perasaan. Dan surat elektronik, saya pilih untuk menyampaikan isi hati saya. Ungkapan perasaan yang saya sampaikan lewat surat terbuka ini, bukan merupakan barang baru. Namun tetap saja, merupakan masalah dasar dari keyakinan saya, berkenaan dengan pembangunan sistem media massa nasional yang bersifat demokratis. Suatu sistem media, yang mampu membawa bangsa menjadi masyarakat informatif, dan pada giliran berikut, mampu mengantarkannya menjadi masyarakat terbuka.


Ketika membicarakan masyarakat demokratis, sesungguhnya kita membicarakan masalah kemerdekaan warganegara. Dan kemerdekaan ini, acap dirumuskan sebagai hak-hak untuk berkomunikasi, berkaitan dengan: kebebasan berkeyakinan, kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, serta kebebasan mengakses informasi. Para skolar komunikasi selalu menyebut: legal guarantees of fundamental Human Rights always name freedom of expression and the right to receive information as an essential principle. Oleh karena itu, kemerdekaan media, pada intinya haruslah mampu menyalurkan secara bebas arus informasi, dan arus pertukaran pendapat, guna menjamin hak rakyat untuk tahu.


Gerangan mungkinkah impian seperti itu terujud? Alhamdulillah, konstitusi kita telah beberapa kali di amandemen. Dan ketika kita mendiskusikan masalah hak-hak sipil dan politik serta sistem media demokratis di negeri ini, keyakinan saya mengatakan bahwa, rujukannya haruslah Amandemen Kedua UUD 1945. Lewat medium ini, konsentrasi sharing yang hendak saya sampaikan kapada anda adalah, mengenai pembangunan sistem media penyiaran nasional.


Perasaan saya Ihwal Amandemen Kedua UUD 1945 dan Pembangunan Sistem Media Penyiaran Nasional.


Pengalaman saya dari membongkar-bongkar kepustakaan berkaitan dengan upaya sesuatu masyarakat “teratur” membangun sistem media penyiaran, saya temukan dua masalah inti, yakni: pembangunan sistem media penyiaran, senantiasa bertolak dari konstitusi; dan media penyiaran bersifat more regulated , dibanding dengan media cetak.


Karenanya, di dalam dirinya, perundang-undangan tentang media penyiaran bersifat paradoks. Regulasi-regulasi itu di satu sisi bersifat membatasi, sementara di sisi lain regulasi itu juga, bukan saja menjamin kemerdekaan, tetapi juga harus memajukan media penyiaran.

Dalam pengamatan saya, ternyata UUD 1945, memberi landasan kokoh bagi pembangunan sistem penyiaran nasional, dengan menggunakan kedua kerangka berpikir itu.


Justifikasi Pengaturan Media Penyiaran.


Semua kita memahami bahwa, hukum memperoleh justifikasi teknologis untuk mengatur media penyiaran melalui suatu undang-undang, karena media ini menggunakan infrastruktur yang namanya gelombang radio. Konstitusi di semua negara “teratur” memastikan bahwa, gelombang radio merupakan ranah publik, yang dikuasasi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 juga menganut paham ini, seperti yang ternukil pada pasal 33(3).


Pasal 33(3) inilah yang kemudian dijadikan titik tolak, dalam proses pengalokasian perizinan. Saya menggunakan terminologi alokasi izin, karena izin penyiaran dengan sendirinya mengandung hak penggunakan gelombang radio.


Siapa yang berhak menggunakan ranah publik itu? Semua warganegara. Amandemen kedua UUD 1947, mengenal hak-hak keadilan. Hal itu tampak pada pasal-pasal 28D(1), 28H(2) dan 28I(2). Equality rules seperti diperintahkan hukum dasar itu, bukan cuma mengharuskan ditegakkannya asas keadilan, namun mewajibkan pula asas tranparansi, dalam pengalokasian izin penyiaran.

Pasal 33(3) menegaskan; ranah publik dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika diterapkan ke dalam Undang-undang Penyiaran, anak kalimat “…dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,“ , diterjemahkan menjadi “…kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik “.

Siapa di antara warganegara yang mengajukaan lamaran mendapatkan perizinan, yang berhak memenangkannya? Pelamar yang paling mampu memenuhi kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik. Oleh karenanya, hukum kemudian menyatakan; pemegang izin penyiaran secara legal mendapatkan hak istimewa. Dan, karena menyandang hak istimewa, apabila didapati melanggar kepentingan, kenyaman dan kebutuhan publik, maka atas dirinya bisa dikenai sanksi. Sanksi terberat adalah pencabutan izin ( pasal 34(5) dan 55(2g) UU 32/2002). Proses perizinan dan pengenaan sanksi, masih akan diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Dalam catatan saya, penetapan PP berkaitan dengan perizinan perlu dicermati hal-hal:
  1. Asas keadilan;
  2. Asas transparansi;
  3. Kesebandingan jumlah stasiun dengan demografi suatu wilayah siaran.


Dalam beberapa kali diskusi saya menangkap gagasan; serahkan jumlah stasiun pada suatu wilayah siaran tertentu, kepada kekuatan pasar. Biar pasar yang menentukan mati-hidup sesuatu stasiun. Bila gagasan itu dimenangkan lewat Peraturan Pemerintah, saya harus mengatakan, asas penjagaan kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan masyarakat, akan sangat mungkin terabaikan. Karena – khususnya buat siaran komersial – tingkat pendapatan mereka, akan menentukan kadar mutu pelayanannya kepada publik.


Kemerdekaan Media Penyiaran


Media penyiaran, sebagaimana media lainnya, mengandung yang disebut sebagai public goods, yang dalam pemahaman saya, berupa isi media. Isi media ini pun, dijamin oleh konstitusi. Simak perintah pasal 28 UUD 1945, yang kemudian diperkaya dengan Bab XA yang terdiri dari 10 pasal, pada Perubahan Kedua konstitusi kita itu. Perlindungan konstitusional itu, tidak melulu diabadikan dalam pasal 28F. Tapi juga tersebar pada pasal-pasal 28C(1)(2), 28E(2)(3), 28I(1), (3), (4) & (5), dan 28J(2). Kesemuanya mengabadikan Hak Asasi Manusia.

Saya harus menyebut hak-hak sipil dan politik warganegara di luar pasal 28F. Lantaran, tiga basis kemerdekaan politik warganegara :

  • Kemerdekaan berbicara (28E(2));
  • Kemerdekaan berkumpul (28E(3));
  • Kemerdekaan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik (28C(2)); mustahil terlaksana tanpa adanya kemerdekaan media.

Salah satu prinsip dasar demokrasi adalah kemerdekaan berekspresi. Dalam penetapan sejumlah Code – Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran – sebagaimana diwajibkan pasal 8 (2a) dan (2b), KPI seyogianya memahami bahwa: brodkaster bebas untuk menyiarkan program yang memuat issue apapun yang mereka pilih, namun tunduk pada:

  • Obligation of fairness and respect for the truth (pasal 8(3d) dan 36(4) UU32/2002).
  • Basic moral values (pasal 28J(2) Amandemen Kedua UUD 1945 & pasal 36 (3)(5)(6) UU 32/2002).

Saya sangat, sangat memahami, dalam penyusunan dan kemudian penegakan kesemua kode seperti ditetapkan UU 32/2002, KPI bukan saja bakalan menghadapi tantangan berat, bahkan tudingan sebagai penjelmaan Deppen. Untuk itu saya ingin menegaskan, dalam masalah penyiaran, kepentingan tertinggi ada pada sisi publik. Media penyiaran memang harus dilindungi, sejauh tidak melanggar kepentingan publik. Saya tidak takut menghadapi KPI yang “bergigi tajam”. Di negara-negara “teratur” regulator penyiaran, selalu disebut sebagai “quasi judicial tribuanal“, yang berwenang mengeluarkan regulasi, dan menjatuhkan sanksi. Ketidaktakutan saya terhadap KPI, karena ada jaminan UU 32/2003. Menurut UU ini, berlaku dobel kontrol terhadap KPI yakni; dari DPR (pasal 7(4)) dan masyarakat ( pasal 52(1)).


Saya bisa memahami ketakutan seorang teman, apabila KPI diserahi kewenangan ganda, baik sebagai penentu regulasi dan pengena sanksi. Karena pendekatannya, teori kuno yang disebut Trias Politica itu. Dunia “teratur” sudah lama menyadari, control from within – kontrol yang datang dari dalam, semata-mata antar lembaga-lembaga negara, dianggap tidak lagi memadai. Karena itu, kemudian dikenal pers sebagai Kekuatan Keempat. Teori ini pun, lama-lama juga dianggap usang. Harus ada kekuatan yang lain, yang mampu melakukaan kontrol, terhadap berputarnya roda penyelenggaraan negara. Pasal 28C(2) UUD 1945 tegas-tegas menyatakan: setiap warganegara berhak untuk berpartisipasi, dalam proses pengambilan keputusan.


Dunia penyiaran memang mengenal Code of Practices yang berlaku sebagai self-regulation. Itu dipraktekkan di Amerika Serikat. National Association of Broadcaster/NAB menyusun Kode Perilaku Penyiaran itu. Tapi coba kebet-kebet aturan-aturan FCC. Saya yang paling hafal, ketentuan FCC yang mengatakan: setiap stasiun penyiaran yang menurunkan editorial yang isinya menyerang seorang kandidat dalam suatu pemilu, dalam waktu satu minggu, wajib mengirimkan rekamannya kepada kandidat yang diserang tersebut. Menurut saya, keliru sekali pendapat yang mengatakan bahwa, kontrol isi penyiaran cukup berupa self-regulation. Kode etik, memang benar berlaku sebagai self-regulation. Di Amerika Serikat, kode etik penyiaran disusun oleh RTNDA – Radio Television News Director Association. Tapi tidak seabsolut itu dalam hal Code of Practice. Dalam contoh AS tadi jelas benar.


Dalam kasus Indonesia, UU 32/2002 menurut saya mengadopsi cara Inggris, yang sistem hukumnya dikatakan paternalistik itu. Saya seringkali heran, orang marah kalau kita harus mengadopsi sesuatu dari luar. (catatan saya untuk itu, memangnya hukum kita murni kelahiran Nusantara, kecuali Hukum Adat?). Pasal 90 dan 91 British Broadcasting Act 1996, menegaskan: pembuatan pedoman perilaku penyiaran merupakan wewenang baik ITC maupun RA (Inggris mempunyai dua otoritas penyiaran). Dan karena kita hanya memiliki satu badan regulator penyiaran, maka wewenang penyusunan Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, oleh undang-undang dilimpahkan kepada KPI ( pasal 8(2a) dan (2b) UU 32/2002).


Agar tidak menyalahi ketentuan pasal 52(1) UU 32/2004, dalam penyusunan Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, KPI harus mengikutsertakan masyarakat. Dan menurut saya Standar Program dan Pedoman Perilaku Penyiaran, seharusnya dikaitkan dengan proses perizinan. Artinya, pemohon izin harus menandatangani persetujuan terhadap keberadaan kedua produk KPI.


Mungkin saya salah; dan sungguh mati saya berharap begitu; media kita – teristimewa media elektronik - lebih cenderung mengolah informasi sebagai komoditas, ketimbang membuka ruang bagi publik untuk menyampaikan apa yang menjadi pikiran, perasaan dan harapan mereka dalam hidup berbangsa dan bernegara. Lantaran saya berasal dari rumpun media elektronik maka saya ingin mengatakan, keunggulan media penyiaran, terletak pada kemampuannya dalam menjaring umpan balik dari masyarakat secara segera dan serentak. Sampai sekarang pun ini tetap menjadi mimpi saya, bagaimana media penyiaran memanfaatkan keunggulan tersebut, sehingga suara rakyat tidak hanya terdengar sekali dalam lima tahun lewat pemilu. Tapi selalu bergema. Sehingga para pengambil keputusan di negeri ini sadar bahwa, mereka selalu “diintip” masyarakat.


Saya memahami kemerdekaan media, bukan berarti glorifying violence dan life-style yang sungguh aduhai ditengah-tengah kemelaratan mayoritas manusia Indonesia, karena alasan rating tinggi, dan oleh sebab itu laku-jual. Bagi saya, kemerdekaan media lebih mengandung free flow of information and exchange ideas, guna memenuhi hak rakyat untuk tahu. Saya yakin, bila hal itu dilakukan media kita, masyarakat kita yang sungguh sangat beragam ini, tidak akan teralienasi satu-sama lain.


Keputusan Mahkamah Konstitusi.


Seingat saya, baik melalui sms maupun telepon, ada dua orang teman yang mengatakan, bahwa keputusan MK konstitusional. Seorang teman malah merujuk pada pasal 5 (2) Perubahan Pertama UUD 1945. Tatkala saya buka konstitusi dan saya baca pasal tersebut, memang benar, penetapan Peraturan Pemerintah berada di tangan Presiden. Jadi yang salah bukan keputusan MK. Tapi UU Nomor 32/2002 yang menetapkan; untuk menjalankan undang-undang ini, maka dibuat ketentuan lebih lanjut yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut seperti tercantum pada pasal-pasal 14(10), 18(3 & 4 ), 29(2), 30(3), 31(4), 32(2), 33(8), 55(3), dan 60(3) itulah, yang ditafsirkan MK sebagai Peraturan Pemerintah. Sedangkan pasal-pasal 11(3) dan 12 yang mengatur tata cara penggantian anggota KPI dan pembagian kewenangan dan pengaturan tata hubungan KPI Pusat dan KPI Daerah, tidak tersentuh keputusan MK.


Yang menjadi pertanyaan saya, apa yang sesungguhnya membedakan KPI dan KPU, sebagai sesama independent regulatory body? Yang membedakan adalah bidang kerjanya. KPU juga dinyatakan sebagai badan regulator yang bersifat independent, seperti dirumuskan dalam pasal 15(1) UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum. Menurut UU No 12/2003 KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, diberi kewenangan menyusun ketentuan guna melaksanakan undang-undang ini. Sekedar contoh, bisa dilihat di pasal-pasal 75(9), 77(3), 81(2), 85(3), 87. Dalam pasal-pasal UU 12/2003 itu, sama sekali tidak disebut-sebut KPU harus menyusun ketentuan itu bersama pemerintah. Itulah yang membedakannya dari KPI. UU 32/2002, yang mewajibkan KPI menyusun ketentuan bersama pemerintah. Dan pasal 62(1) telak-telak menyebut “…ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah “. Dugaan saya, kecelakaannya terletak di situ.


Sepengetahuan saya, hakim – termasuk hakim MK – berhak membuat hukum, dengan memberi makna pada pasal-pasal undang-undang, guna menciptakan keadilan. MK telah melaksanakan itu, dengan merujuk pada pasal 5(1) Perubahan Pertama UUD 1945, persis seperti bunyi pasal itu. Dan keputusannya: final. Secara berseloroh sejumlah teman saya sms dan saya katakan; Hanya ada Tuhan diatas MK. Dan seorang teman, via telepon; protes.


Peraturan Pemerintah untuk Menjalankan UU No 32/2002.


Tanpa ada Keputusan MK yang mencabut pasal 62 (1) & (2), UU No 32/2002 memang bersifat kontroversial. Potensi kotroversi dalam pandangan saya terutama terlihat pada pasal 33(4C), (4d) dengan pasal 33(5), yang mengatur proses perizinan. Namun, dengan adanya Keputusan MK, saya hampir-hampir yakin, perdebatan itu dapat diredam melalui PP seperti ditetapkan pada pasal 33(8). Dengan kata lain, bila ada perbedaan pendapat antara KPI dan Pemerintah, tentang pemohon mana yang memenangkan perizinan, maka yang akan dimenangkan adalah pemerintah. KPI yang dinyatakan sebagai wujud peran serta masyarakat ( pasal 8(1)), akan terpinggirkan. Semoga dugaan saya salah besar.


Kontroversi berikutnya ada pada pasal 37, yang mewajibkan media penyiaran mempergunakan bahasa Indonesia. Yang harus dipertanyakan, undang-undang ini memungkinkan lahirnya siaran berformat etnik – komersial ataupun komunitas – berbahasa etnik Indonesia tertentu atau tidak? Pasal 34(4) pun, pada pikiran saya menyimpan masalah yang sangat bisa diperdebatkan. Saya memiliki saham pada stasiun tertentu, menurut pasal ini – termasuk penjelasannya – kalau saya mati, tidak membolehkan saya mewariskan saham saya pada anak-anak saya. Pertanyaannya adalah, siapa yang akan memiliki saham saya? Modal yang dahulu pernah saya tanamkan, dan kemudian berbuah, siapa yang berhak menikmati? Bila pasal 34(4) ini tidak dicermati, saya khawatir akan terjadi perampasan hak pribadi, atas nama hukum.


Tentang wilayah siaraan UU No 32/2002 dalam pasal 31(5) menyatakan, stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut. Penjelasannya; “cukup jelas“. Melihat pengalaman negara lain yang telah cukup advance perkembangan penyiarannya, ketika menetapkan suatu wilayaah siaran, pada galibnya mereka tidak melulu mengukur dari wilayah administratif pemerintahan, melainkan meninjaunya dari besaran pasar. Jumlah stasiun pada satu wilayah siaran, akan dibatasi sesuai dengan demografi lokal tersebut. Itu pengalaman di negara lain. Bagaimana PP akan mengatur masalah ini? Pengalokasian perizinan, senantiasa dilakukaan secara adil, dan transparan. Saban warga, berdasarkan equality rules, dijamin Perubahan Kedua UUD 1945 pada pasal-pasal 28D(1), 28H(2) dan 28I(2). Akan diterjemahkan seperti apa oleh Peraturan Pemerintah yang segera akan terbit itu?


Hukum Indonesia, tidak mengharamkan Peraturan Pemerintah, untuk mereduksi undang-undang yang hendak dilaksanakan. Apalagi menyunat perintah konstitusi. Kalau hal itu terjadi, saya terpaksa harus mengatakan; pemerintah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.


Sesuai dengan kehendak UU No 32/2002 pasal 52(1): “warganegara Indonesia memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional“. Saya ingin menyerahkan kepada anda, teman, untuk memaknakan perintah pasal itu tadi.. Tapi tentu saja saya punya harapan dari anda, untuk dalam jangka pendek ini, memberi sumbang saran bagi kelahiran Peraturan Pemerintah guna melaksanakan UU No 32/2002. (Ingat perintah pasal 28C(2) UUD 1945, dan pasal 52(1) UU 32/2002 itu tadi). Dan dalam jangka panjang, mengamandemennya. Suatu pikiran yang saya rasa pada saat ini, bisa jadi mengundang cibiran. Namun saya yakin, waktu itu akan datang juga. Seingat saya, Inggris 6 kali melakukan perubahan atas undang-undang penyiaran mereka. Amerika Serikat, tiga kali.


Sahibulhikayat.


Sejumlah teman saya kira masih ingat, ketika pada tahun 98, kita kumpul di Bumi Wiyata Depok, pada saat PRSSNI mengundang sejumlah tokoh perguruan tinggi membicarakan rancangan undang-undang penyiaran, pengganti UU Penyiaran No. 24/1997. Saat itu, tatkala UUD 1945 masih wungkul seperti apa adanya, dan TAP MPR No 17/1998 tentang HAM, belum lagi keluar, seorang pakar hukum ketetanegaraan kondang dari UI berujar: “Jangan anda mimpi, melahirkan sesuatu undang-undang dengan menyerahkan kewenangan pelaksanaannya pada apa yang anda sebut sebagai Badan Regulator Independen “. Itu pil pahit pertama yang saya kunyah-kunyah. Dalam perjalanan berikutnya pun, bersama teman-teman MPPI, banyak pengalaman yang bisa jadi tidak menyenangkan kala itu. Termasuk pengalaman PRSSNI/MPPI mencegat UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.


Saya terbiasa kalah. Namun oleh lewatnya waktu, kini terasa manis. Lantaran, kekalahan masa lalu; pengalaman-pengalaman itu; ternyata telah memperkaya batin saya, dan saya yakin, juga batin teman-teman Komunitas Kebon Sirih.


Alhamdulillah, konstitusi kita telah mengalami perubahan sehingga menjamin ruang kebebasan bagi warganegaranya. Modal konstitusional, sudah ada di kantong, setidak-tidaknya. Dan karenanya, kita tidak lagi menjadi “minder” mempermasalahkan hak-hak warganegara.

Saya malu mengatakan “ Selamat berjuang “. Saya ganti saja deh, sebagai takzim saya kepada anda: Tabik, teman-teman.


Jakarta, 30 Juli 2004.

Zainal A. Suryokumo.


[Catatan Kuncen: Tulisan ini, merupakan email yang dikirimkan almarhum Zainal Abidin Suryokusumo kepada rekan-rekannya para anggota KPI, pada tanggal tersebut diatas. Arsip email ini ditemukan Tantri Suryokusumo, puteri almarhum, di dalam laptop peninggalan Bung Zainal. Tantri kemudian mengirimkannya ke Blog Bung Daktur ARH).

Tidak ada komentar: