10 April 2008

Pemimpin Tanpa Spiritualitas

Oleh: Arthur John Horoni

Billy, tiba-tiba aku kangen betul untuk omelin kau. Jangan kaget sobat, pasalnya aku sedih lantaran blog yang kau gawangi, Bung Daktur ARH, sepi berkepanjangan. Apakah sobat-sobat kita begitu sibuknya sehingga, bahkan menoreh sepotong ungkapan pun tak sempat? Di mana gerangan sembunyi Wanti, Wina, Munir, Untung, Sam, Endah, Bustami, Toto, Yulie, Dara Agustina, Sandra, Komar, Sammy, dst, dst? Atau lantaran cara kau kampanye tak dikemas sesuai selera pasar? Atau, jangan-jangan, semoga aku salah, mereka lebih afdol berkompetisi untuk proyek material sehingga emoh merawat sektor spiritualitas?

Dalam kenanganku, Bung Daktur, Mas Zen, yang sudah lebih enam bulan kembali kehadirat Penciptanya, adalah guru spiritualitas. Spirit, kita alihkan ke bahasa kita, semangat. Padahal lebih kena roh atau ruah: keyakinan yang teguh. Pada Bung Daktur, tatkala Bengkel Belia ARH dideklarasikan bulan Desenber 1975 di Pantai Cisolok, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, keyakinan yang teguh itu terpateri dalam idiom, “untuk Tuhan dan Tanah Air, kami berbakti”. Idiom itu diakuinya tidak orisinal miliknya. Ia mengutip Lord Baden Powell, Bapak Kepanduan Dunia. Maklum, zaman remaja (ABG, kata anak muda kiwari), Bung Daktur ikut kepanduan. Makanya dia memiliki itu tadi, spiritualitas. Entah kenapa setelah pandu menjadi pramuka, gerakan itu malah memble. Maaf.

Billy sobatku yang panjang sabar...

Aku rasa kita perlu memperbincangkan ikhwal spiritualitas ini. Bagiku, spiritualitas tidak identik dengan ajaran agama. Ia mengatasi tembok doktrin. Ia dapat saja ditemui dalam keutuhan iman, kearifan budaya lokal, sejarah, perjuangan rakyat tertindas untuk bertahan hidup, humor, puisi, tarian, nyanyian para sufi atau celoteh sederhana petani organik yang anti pupuk kimia dan bibit hibrida. Orang yang memilih sikap emoh terhadap roh-roh zaman macam: mamonisme (kemaruk duit), materialisme, konsumerisme, narsisisme, korupsi, gila kuasa dan sebangsanmya, tentu orang yang memiliki spiritualitas.

Nah, di sinilah soalnya. Nilai ini yang tampaknya sulit kita temukan, ia telah menjadi sesuatu yang luks di tengah-tengah trend pragmatisme atawa mumpungisme. Pada akhir dasawarsa 70-an sampai awal 80-an abad silam, tatkala kita bersama-sama Bengkel Belia ARH kamping di G. Salak atau di perkebunan di Subang, kau ingat, kita berlatih bagaimana menjadi demokrat dalam pemilihan kepala suku. Inspiratornya tentu saja Bung Daktur. Bayangkan, di tengah-tengah situasi otoriter Suharto waktu itu, kita sudah mempraktekkan attitude (sikap) anti mapan. Berani melawan arus, kata orang. Perdebatan dihalalkan, perbedaan pendapat diterima sebagai rahmat, ekspresi diri yang bebas dimuliakan. Ingat semangat perlawanan dalam Lomba Baca Puisi-puisi Tempe yang sarat sajak protes pada 1979 atau Aksi Musik ARH 80. Bengkel Belia ARH sudah berani pada saat Suharto dan Orbanya masih berjaya.

Tak pelak, karena kita dilandasi spiritualitas, kalau aku boleh berefleksi. Toh tak perlu kita sesali ketika ada yang tak tahan. Tatkala para senior kita memilih jalan partai politik, spiritualitas untuk memihak kepada kaum yang terpinggirkan, rakyat jelata, yang dalam puisi Taufiq Ismail digambarkan sebagai, “yang di pinggir jalan mengacungkan tangan kepada bus yang penuh,” tersingkir. Jalan pragmatisme menjadi pilihan. Apa boleh buat, kalau tidak sekarang, kapan lagi ikut-ikutan berkuasa. Celakanya, setelah reformasi bergulir sejak 1998, semangat mumpung orang partai malah semakin menjadi-jadi.

Kekuasaan menjadi dambaan, dan rakyat boleh makan janji kampanye saja. Rakyat Jakarta sudah digilas janji kampanye gubernurnya karena ternyata, kendati ahlinya sudah berjaya, banjir (ada hujan maupun tidak hujan), kemacetan jalanan, kesemrawutan tata kota, penggusuran rakyat jelata tetap saja jadi cerita sehari-hari. Rakyat Sumatera Utara dan Jawa Barat hari-hari ini juga lagi melahap janji kampanye. Sialnya, calon perseorangan belum dapat kesempatan, padahal calon yang dijagokan partai yang oligarkis dan sentralistik ini tak sesuai harapan rakyat. Padahal meraka bakal memimpin provinsi-provinsi itu lima tahun ke depan. Dan para politisi yang diusung partai-partai ini semua tak memiliki roh. Tak punya spiritualitas. Beragama pasti. Sangat taat. Tapi apa itu sudah jaminan memiliki spiritualitas?

Billy,

Maukah kau sejenak membayangkan negara yang para pemimpinnya tak memiliki keyakinan yang teguh, roh, untuk menyejahterakan rakyatnya? Tanpa spiritualitas kita berada dalam suasana anomali, tanpa pegangan, tak jelas mana yang boleh dan mana yang tak boleh. Tak jelas etikanya, karena material jadi tujuan, dambaan, sementara mental-spiritualnya jadi pemanis bibir saja.

Tentu saja tak mudah merawat dan menumbuhkan spiritalitas, keyakinan yang teguh, sikap batin yang mengarah kepada penegakan hak dan martabat manusia. Seorang teman dulu pernah becanda, begini, “sobat, kita bisa berbeda agama tapi satu iman.” Aku kaget mulanya. Maksudmu? “Ya, iman kita kan keadilan, walau agama bisa berbeda.” Tapi bukankah semua agama mengumandangkan keadilan, perdamaian, persaudaraan dan penghormatan kepada alam ciptaan Tuhan. Ya, rohnya, spiritualitasnya begitu, tapi praktek banyak orang beragama tidak begitu.

Apalagi kalau sudah jadi politisi yang bercita-cita jadi penguasa. Rakyat cuma jadi kendaraan yang dibayar murah. Partai telah mengijonkan rakyat demi mendapatkan uang untuk biaya kampanye. Gosipnya, para calon pemimpin harus membayar pemimpin partai sekian M. Wow. Saat kampanye, setiap kepala manusia yang dikerahkan, mendapat nasi bungkus seharga 15 ribu rupiah ditambah uang transpor. Hitung-hitung Rp 100.000 sehari itu. Lumayan, ketimbang nggagur, kata rakyat. Padahal harga seekor kambing boleh jadi di atas Rp 500.000. Celaka, para politisi, para pemimpin tanpa spiritualitas, menghargai seorang rakyat lebih rendah dari seekor kambing! Kutuk apa gerangan ini, Billy?

Mungkin kita perlu bermimpi, suatu hari, entah kapan, siapa tahu saat negeri yang terlalu luas ini secara pragmatis memilih jalan republik federasi, akan muncul pemimpin yang mau belajar jujur pada dirinya sendiri, mau menghargai dirinya apa adanya, yang mandiri dan merdeka dari relasi kekuasaan penindasan, yang berani memilih berpihak kepada kepentingan rakyat, yang memiliki bela rasa, kepekaan dan keperdulian kepada rakyatnya yang sengsara (bukan yang berurai airmata lantaran nonton film, namun tak menangis saat ada ibu hamil mati karena kelaparan), yang menghargai waktu – tidak menunda-nunda keputusan penting, yang setia mendengar suara rakyat, yang selalu belajar dari sejarah (keledai saja tak pernah terperosok ke dalam lobang yang sama), yang sedia menjadi pelayan rakyat.

Karena menjunjung nilai-nilai itu, sang pemimpin pun dihargai, karena ia memiliki watak yang bijak. Ia memiliki keyakinan yang teguh untuk membangun bangsa dan negara bersama rakyatnya. Ia memiliki spiritualitas. Tak salah mulai dari mimpi ya? Mumpung belum dilarang.

Medan, 8 April 2008.

Tidak ada komentar: