19 November 2007

Ketika Rakyat Bermain Peran

Oleh: Arthur J. Horoni

Gerangan apa yang dihasilkan “perubahan”, kata kunci dari hingar bingar pemilu (legislatif dan presiden) 2004? Ternyata cuma (menurut Prof. Dr. Hotman Siahaan); ontran-ontran demokrasi. Rakyat masih mengalami kekerasan kultural maupun struktural dalam kehidupan politik, manakala menyaksikan para politisi yang menjadi wakil rakyat menjadi “orang-orang kaya baru” – apakah melalui praktik nepotisme, kolusi, ataupun korupsi – berbarengan dengan itu telah meruntuhkan sebagian besar konstituen menjadi “orang-orang miskin baru”.

Orang-orang miskin baru ini boleh jadi hidup di tengah paradoks. Di satu sisi mereka penyabar, menerima nasib sengsara sebagai takdir atau karma. Namun di sisi lain, mereka sadis: membakar hidup-hidup seorang maling. Mereka juga pemberang, karena menganggap sistem yang ada tidak adil, koruptif, yang membuat bagian terbesar rakyat jadi kehilangan, tersingkir, tertindas.

Toh bukan mustahil muncul juga kelas rakyat yang tampil beda. Mereka bukan penyabar, tak pula pemberang. Namun nakal, mbeling, kalau pinjam terminologi Remy Sylado. Kelas ini menertawakan situasi, dan tak berhenti sampai di situ. Mereka coba-coba bermain peran. Andaikan aku bukan “orang-orang miskin baru” namun “orang-orang kaya baru”, seperti apa aku menghayati dan menikmati situasi itu?

Tokoh-tokoh inilah: rakyat mbeling yang bermain peran itu, yang mencuat lewat syair-syair Nyanyian Anti Korupsi. Kolaborasi Untung Hadi Makalidirdja dan Yopie Doank ini, menghasilkan aktor-aktor teater rakyat yang karikatural dan ceriwis .

Aku ini anak negeri
Aku punya hak asasi
Aku ingin jadi menteri
Akan kubangun pabrik panci
Agar rakyat selalu memuji
Kalau aku jadi menteri

Anakku sekolah di luar negeri
Buang duit aku tak peduli
Sebab jabatan satu posisi
Dan itu hal yang manusiawi

(Nyanyian Anak Negeri, Untung HM/Yopie Doank)

Bermain peran adalah salah satu media yang atraktif dalam membangun kesadaran kritis rakyat. Melalui metode ini rakyat dimampukan menganalisis situasi yang dihadapinya, mungkin sektoral, namun bisa juga sampai ke nasional ataupun global. Karena itu, berbeda dengan model protes yang asal memaki-maki, bermain peran meniscayakan orang berefleksi, menilai apa yang sudah terjadi. Proses ini mengundang orang melakukan perenungan.

Untung Hadi Makalidirdja, saya kenal sejak besama-sama bekerja di Radio ARH Jakarta era media 70-an hingga awal 80-an abad XX. Ia pengagum seniman Betawi kesohor Benyamin S. dan budayawan Remy Sylado. Terbilang fans berat. Cara dia menyanyi di album ini – lepas dari perkara kaliber – sangat dipengaruhi kedua tokoh tadi. Sepanjang yang saya ingat, ia gemar mengemas bentuk-bentuk media ekspresi yang substansinya menyoroti persoalan-pesoalan sosial. Jadi saya tak terkejut menonton dia membaca puisi ikhwal bencana Aceh di TVRI bulan Februari 2005 silam. Dia menulis puisi “pamflet” yang cukup menyentuh. Namun waktu mendengar dia mau menyanyi, saya kaget. Kok berani-beraninya dia, padahal suaranya pas-pasan.

Namun siapa bisa melarang kawan ini? Kendati dari sudut penyajian – terutama vokalnya Untung – biasa saja, namun dari sudut tematik cukup merangsang imaji justru karena memanfaatkan metode main peran (role play) itu tadi. Dari pengalaman melakukan pelatihan media ekspresi rakyat bersama organisasi rakyat di pedesaan Jawa Barat, Kalimantan dan Sumatera Utara, isu-isu sosial yang menyangkut hajat hidup rakyat jelata mantap sekali dimainkan. Tema-tema ini bisa dikemas dalam nyanyian, puisi, tarian maupun teater rakyat. Rakyat mencipta cerita dan menjadi peraganya sekaligus.

Selain kejelian memilih metode, ada dua hal lain yang perlu diapreasiasi dari album ini: kepekaan terhadap nasib kawula jelata – omong kerennya di situ pesan oralnya – dan kemampuan mencipta sekaligus memperagakan tentu saja lepas dari ukuran kaliber. Jadi, coba bayangkan bila sang rakyat berubah peran menjadi raja:

Aku ingin bermain sandiwara
Jadi paduka yang maha raja
Duduk bersila disinggasana
Melihat rakyat yang menderita

...

Aku ini rentetan cerita
Jadi raja yang punya tahta
Perdana Menteri selalu kuperintah
Rakyat miskin jangan banyak bicara

Tak pelak, sang rakyat “menikmati kemahaberkuasaan” raja, kemudian menertawakannya :

Tutup layar tutup lakon
Ini cerita hanya guyon
Paduka rakyat mohon permisi
Menteri-menteri rebutan kursi

(Keroncong Orba)

Sayang dalam beberapa syair lagu, terutama dalam Blues Buat Sang Isteri dan Salah Comot. Untung terjebak dalam pandangan stereotype yang merendahkan perempuan sebagai penyebab bencana. Ini jelas-jelas mengundang perdebatan karena bias gender dan cenderung menstigmatisasi perempuan sebagai sumber keamburadulan kehidupan. Apa boleh buat, laki-laki Indonesia masih berada di bawah tempurung budaya patriarki, apalagi bila dilegitimasi oleh doktrin agama.

Namun, lepas dari itu semua, inilah sosok Untung Hadi Makalidirdja, sobat saya, plus minus. Ia telah mengusung karyanya, bermain peran bersama rakyat dan saya turut girang menyambutnya. Karena itu catatan saya mesti berhenti di sini.

2 komentar:

cangkrukan mengatakan...

wow thanks pak dg baca artikel ini berasa di setrum lagi aki otak saya. Mohon ijin untuk memposting di blog...saya

Billy Soemawisastra mengatakan...

Boleh saja Mas. Asalkan nama penulis dan sumbernya tetap dicantumkan.