Ali Sadikin sedang menerima plakat Radio ARH, yang diserahkan oleh Zainal Abidin Suryokusumo, selaku penanggung Jawab Radio ARH, sebagai kenang-kenangan atas berakhirnya masa jabatan Bang Ali sebagai Gubernur KDKI Jakarta. Berdiri paling kanan: Sandra Paat, salah seorang penyiar Radio ARH. Foto ini diambil pada sekitar tahun 1977. (Foto: Koleksi Zul).
Oleh: Zulkifli Ibrahim
Kebutuhan akan komunikasi dan penyebaran informasi secara cepat, merupakan salah satu faktor yang mendorong tumbuhnya radio-radio, yang bagaikan cendawan di musim hujan itu. Media informasi seperti
Hanya dengan cara mengubah fungsi radio listrik, yang biasanya hanya dipergunakan sebagai radio penerima (receiver) menjadi radio siaran (transfer), maka muncullah radio-radio amatir tersebut. Proses pembuatannya memang tergolong sederhanya. Pertama, menyambungkan input amplifier yang terdapat pada peralatan pemutar musik/piringan hitam (yang saat itu populer dengan sebutan pick up atau gramophone), dilengkapi perangkat pemutar sekaligus perekam lagu (tape recorder) yang menggunakan pita magnetik lebar dan panjang, serta penggulung pita (reel) berukuran besar.
Kemudian, dibuat output yang dihubungkan ke antena dengan tiang sederhana, terkadang hanya bambu, sebagai antena pemancar. Karena sifatnya yang tidak memiliki izin resmi inilah, radio-radio tersebut dijuluki Radio Siaran Amatir. Satu-satunya radio yang memiliki izin resmi saat itu, hanyalah Radio Republik Indonesia (RRI).
Keberadaan radio amatir yang sangat banyak itu, tanpa disadari telah mengganggu frekuensi-frekuensi khusus yang biasa digunakan instansi-instansi pemerintah, seperti instansi telekomunikasi, penerbangan dan perkapalan. Sehingga perlu dilakukan penataan dan penertiban.
Akhirnya, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, Ali Sadikin, bersama Kementrian Perhubungan dan Instansi Telekomunikasi, melakukan penertiban dengan menerbitkan sejumlah peraturan. Radio-radio amatir yang tetap ingin mengudara dan didengar khalayak, harus memiliki: izin frekuensi; badan hukum dan struktur organisasi; penanggung jawab siaran; kepala studio; bangunan permanen dengan pembagian ruangan untuk siaran; pemancar dan diskotik; serta lahan yang memadai untuk membangun menara antena pemancar (tower).
Embrio Radio ARH.
Dari sekian banyak radio amatir yang terjaring penertiban itu, terdapat pula beberapa radio sejenis yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa 1966, yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (ARH). (Sebagai cacatan, nama Arief Rachman Hakim diambil dari nama aktivis mahasiswa Universitas Indonesia tingkat 6, yang gugur dalam aksi menentang Soekarno di depan istana presiden, dan Ampera adalah singkatan dari Amanat Penderitaan Rakyat, slogan perjuangan 1966).
Laskar Ampera ARH, memiliki tujuh markas rayon dan satu markas pusat. Masing-masing markas rayon menggunakan nama Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI, tahun 1965. Ketujuh markas rayon tersebut tersebar di seluruh wilayah
Markas Pusat, yang beralamat di jalan Kramat Raya nomor 97, memiliki Radio Siaran Amatir dengan nama AK-97; Yon S. Parman (Gunung Sahari, Senen, Matraman) dengan Radio Siaran Amatir; RC-77; Yon Sutojo (Jatinegara, Kampung Melayu, Cawang) Radio Siaran Amatir: Sutojo; Yon Harjono (Roxy dan Grogol) Radio Siaran Amatir: RH-66 ; Yon Soeprapto (Pasar Baru, Jalan Kartini) Radio Siaran Amatir: Swanara; Yon A. Yani (Menteng, Setia Budhi) Radio Siaran Amatir: A. Yani; Yon Tendean (Tanjung Priok) Radio Siaran Amatir: Cora; dan Yon Panjaitan (Kebayoran) Radio Siaran Amatir: Cora.
Radio-radio amatir ini disarankan untuk bergabung (merger) menjadi satu radio, dengan satu paket izin penyiaran. Walhasil, tujuh dari delapan radio Laskar Ampera ARH ini, bersedia bergabung di bawah satu bendera: Radio ARH. Selain Radio ARH, ada sejumlah radio perorangan yang juga memperoleh izin penyiaran saat itu, antara lain Radio Draba, Cakrawala, Ramako, El-Shinta dan lain sebagainya. Kesemua radio yang mendapat izin penyiaran ini kemudian menjadi radio komersial, dengan sebutan Radio Siaran Swasta Niaga (belakangan diubah menjadi Radio Siaran Swasta Nasional).
Setelah resmi menjadi Radio ARH, Gubernur Ali Sadikin menghibahkan sebuah bangunan di komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), jalan Cikini Raya 73 Jakarta Pusat, untuk dijadikan pusat kegiatan penyiaran radio ARH, sebagai salah satu bentuk penghargaan untuk Laskar Ampera ARH. Sejak itu ARH pun tampil menjadi radio yang sangat diperhitungkan, karena memiliki keunikan tersendiri, dan setiap penyiar Radio ARH, diwajibkan untuk mengikuti program pendidikan penyiaran Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Kini, setelah Radio ARH berganti kepemilikan, bangunan (untuk tidak menyebut gedung, karena terlalu kecil – Red) eks-studio Radio ARH di komplek TIM, difungsikan sebagai Sekretariat Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (IKBLA-ARH).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar