12 November 2007

Lanjutkan Perjuangan

Oleh: Tantri Suryokusumo

Hampir dua minggu setelah almarhum meninggal dunia (akibat kanker kelenjar getah bening yang baru terdiagnosis dua bulan sebelumnya), seorang pengajar ilmu komunikasi bilang, "(Semua) Orang penyiaran pasti kenal Pak Zainal,” begitu ia menyadari nama belakang saya Suryokusumo. Aneh, setelah ayah, guru, sahabat, & lawan debat saya meninggal, saya seperti baru tahu bahwa seorang Zainal A. Suryokusumo (atau biasa disapa Bang Zen, Babe, Bung Daktur) adalah big thing bagi banyak orang.

"Ngapain kamu kerja di radio?" itu kalimat almarhum, sewaktu dengan bangganya saya bercerita tentang diterimanya saya sebagai penyiar di sebuah stasiun radio swasta papan atas. Sekitar sembilan tahun kemudian, saat terbaring sakit di ICU RS MMC, almarhum menulis di selembar kertas (karena tidak bisa bicara akibat harus menggunakan alat bantu pernapasan): "Jangan kecil hati." Lalu dengan tangannya yang masih sulit berkoordinasi dengan keinginannya berkomunikasi, almarhum menulis lagi: "Kita sama-sama siaran."

Bung Zainal (kedua dari kiri) bersama Inre,
puteri kedua, yang ketika itu masih balita, dalam acara
perkemahan Bengkel Belia ARH tahun 70-an. Berdiri paling kiri:
Iwan Padmadinata, salah satu penyiar Radio ARH 70-an.

Sebenarnya, sampai almarhum wafat 30 Agustus 2007, saya belum mengerti apa maksud tulisan-tulisan pendeknya itu. Interpretasi pesan sangat tergantung dari penerimanya. Jadi mudah-mudahan sah saja kalau saya menginterpretasikan tulisan-tulisan pendek almarhum di ICU tadi, sebagai penyemangat bagi saya, bahwa bekerja di radio tidaklah seburuk yang pernah disampaikannya kepada saya.

Uniknya, walau anak-anaknya selalu berusaha dijauhkan dari kemungkinan bekerja di dunia penyiaran, nyatanya 2 dari 3 anaknya pernah & masih bekerja di dunia yang dibenci sekaligus dicintainya itu. Barangkali almarhum mau menyampaikan pada kami, "Biar Mama saja (begitu saya memanggilnya) yang berurusan dengan dunia penyiaran Indonesia yang nggak pernah jelas ini."

Usahanya menghalangi putri-putrinya bekerja di dunia penyiaran, tidak menghalangi semangatnya membenahi dunia penyiaran dan kebebasan perolehan informasi bagi semua. Tak heran beberapa minggu menjelang sakit pun almarhum masih sibuk bertugas keluar kota. Kesibukan yang semasa kecil tidak pernah saya mengerti, "Kenapa Mama sibuk tapi nggak pernah bisa sebanyak uang & sengetop orang lain?"

Semasa hidupnya, rasanya banyak yang sudah saya pelajari dari almarhum. Sepeninggalnya, saya justru merasa terlalu banyak yang belum saya pelajari darinya. Sampai hari-hari terakhir hidupnya pun, saya masih tidak tahu dari mana harus memulai mengumpulkan pemikiran-pemikirannya yang tersebar di belasan note book, sebuah laptop yang rusak LCD-nya, ratusan karya tulis, dan sebuah flash disk.

Almarhum masih sempat berpesan ke sejumlah sahabatnya untuk melanjutkan perjuangnya yang pernah dimulainya. " Saya bekerja untuk cucu & cicit saya," demikian salah satu kalimat almarhum yang selalu saya ingat, saat berdebat tentang RUU Penyiaran (yang sekarang menjadi UU Penyiaran) dengan seorang lawan bicaranya melalui telepon genggam.

Banyak ilmu almarhum yang belum saya pelajari untuk ketahui. Saya hanya tahu bahwa saya bersyukur menjadi putrinya.

[Tulisan ini, juga dapat dilihat di blog penulis: http://www.serampangan-bermedia.blogspot.com]

[Tantri Suryokusumo, adalah putri bungsu almarhum Zainal Abidin Suryokusumo, yang juga berprofesi sebagai penyiar radio (antara lain radio Female) mengikuti jejak ayahnya. Selain itu ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta di Jakarta, di antaranya London School of Public Relations]

Tidak ada komentar: