Oleh: Billy Soemawisastra
Ini mungkin termasuk foto paling bersejarah yang masih kami miliki. Foto ini diambil beberapa saat setelah usainya musyawarah kerja Fosko '66, sekitar tahun 1980. Dan, mereka yang terpampang di foto ini, adalah para pengurus Fosko'66, yang sebagian besar merupakan Angkatan '66 (KAMI dan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim). Beberapa di antaranya, dikenal sebagai politisi tingkat nasional dan tokoh pemerintahan. Sebut saja misalnya, almarhum Ekky Syahruddin (berdiri, nomor 5 dari kanan). Mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan mantan Sekjen PB-HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) era kepemimpinan Nurcholish Madjid itu, sebelum meninggal dunia tahun 2006, adalah Duta Besar RI untuk Kanada, anggota DPR-RI dan fungsionaris Partai Golkar.
Kemudian (berdiri) nomor 7 dari kanan, adalah Fahmi Idris (kini Menteri Perindustrian RI) mantan Komandan Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (ARH). Dan, berdiri nomor 6 dari kanan, adalah almarhum Amir Biki. Tokoh kontroversial yang pernah menjadi salah satu Ketua Umum Fosko '66 itu, tewas pada suatu bentrokan senjata dengan aparat keamanan di tahun 1984, dalam insiden yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Priok.
Di dalam foto ini juga tampak beberapa penyiar Radio ARH 70-an dan 80-an, seperti Dedi S. Pardi (nomor 3 dari kiri), Sammy Marcus (nomor 4 dari kiri), Arthur John Horoni (nomor 7 dari kiri), Billy Soemawisastra (nomor 9 dari kiri), Zulkifli Ibrahim (nomor 4 dari kanan) dan Rahmat Ismail (nomor 8 dari kanan). Tampak pula almarhum Louis Wangge (nomor 8 dari kiri), mantan komandan Laskar Ampera ARH, yang dikenal sangat "keras" sikapnya terhadap pemerintahan Orde Baru.
Last but not least, Zainal Abidin Suryokusumo (duduk di tengah). Waktu itu, selain menjadi penanggung jawab Radio ARH, Bung Zainal juga berperan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fosko '66 selama beberapa periode.
Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) '66, pada mulanya merupakan sebuah grup diskusi yang beranggotakan para eksponen Angkatan '66. Para pendirinya adalah: Fahmi Idris, Louis Wangge dan Zainal Abidin Suryokusumo. Secara rutin, setiap minggu, kelompok ini menggelar diskusi-diskusi mengenai berbagai permasalahan politik yang sedang hangat, dan kemudian dijadikan bahan masukan untuk organisasi-organisasi politik, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
Dalam diskusi rutin ini, Fosko '66 tak jarang mengundang para politisi sipil dan militer (termasuk yang duduk di pemerintahan) untuk tampil sebagai narasumber, sehingga komunikasi dengan berbagai kekuatan politik saat itu terbilang lancar. Saat itu, Fosko pun menjadi kelompok yang cukup disegani. Kredibilitasnya boleh dikatakan sejajar dengan CSIS (Centre of Strategic for Indonesian Studies) dan Fosko-AD (Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat).
Berkat kredibilitas yang dimilikinya, Fosko '66 sering berperan sebagai "jembatan" yang menghubungkan organisasi-organisasi ekstra mahasiswa dengan pemerintah. Maklum, sejak Pemerintah (cq. Menteri Pendidikan & Kebudayaan Daud Yusuf) memberlakukan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang melarang kegiatan politik praktis di kampus-kampus, organisasi-organisasi ekstra mahasiswa seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) menjadi semakin sempit "ruang gerak"nya.
Selama beberapa tahun, organisasi Fosko '66 menggunakan sistem presidium. Ketua presidiumnya bergantian secara periodik di antara tiga tokoh utamanya, yakni Fahmi Idris, Louis Wangge dan Ekky Syahruddin. Sedangkan Sekjennya, selalu dijabat oleh Zainal Abidin Suryokusumo. Bahkan setelah sistem keorganisasiannya diubah menjadi "sistem ketua" dengan ketua umumnya Amir Biki, sekjennya masih tetap dipercayakan kepada Bung Zainal. Ini menandakan bahwa Bung Zainal-lah, sebenarnya motor utama Fosko '66.
Belakangan, kepentingan politik sebagian besar anggotanya, semakin mewarnai perjalanan Fosko '66. Sehingga dalam musyawarah kerjanya pada sekitar tahun 1982, Fosko '66 yang semula beritikad menjadi moral force (kekuatan moral) yang berfungsi sebagai pressure group (kelompok penekan) terhadap kekuatan-kekuatan politik termasuk pemerintah, berbelok haluan menjadi political force (kekuatan politik). Dalam arti, ikut bermain di kancah perpolitikan, baik sebagai pribadi-pribadi maupun sebagai organisasi.
Kondisi ini mengakibatkan friksi-friksi di dalam tubuh Fosko '66 tak bisa dihindarkan lagi, sehingga muncullah faksi-faksi (sayap) politik. Ada sayap Amir Biki dan Salim Kadar yang berafiliasi ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Ada faksi Fahmi Idris dan Ekky Syahruddin, yang memilih Golkar (Golongan Karya) sebagai kendaraan politiknya. Tak lama kemudian, Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, yang merupakan faksi terbesar Fosko '66, menyatakan diri bergabung dengan Golkar, ketika organisasi politik pendukung pemerintah ini dipimpin Wakil Presiden Soedharmono.
Lalu ke mana Bung Zainal? Dunia politik praktis bukan pilihannya. Begitu Fosko '66 menyatakan diri sebagai kekuatan politik, Zainal mengundurkan diri dari organisasi yang ikut dibentuknya itu. Impiannya menjadikan Fosko '66 sebagai kekuatan moral intelektual yang disegani semua kalangan, pupus sudah. Ia pun "minggir" dan memilih untuk lebih menekuni dunia penyiaran, dan gigih memperjuangkan hak-hak pekerja pers. Namun peran ini lebih banyak dijalankannya di belakang layar. Ia tidak suka menonjolkan diri.
Di mana Fosko '66 sekarang? Organisasi itu, konon masih ada. Tapi hanya tinggal sekedar nama, yang semakin pudar, dilupakan orang. Seperti pudarnya foto di atas, yang semakin kusam, semakin rapuh. Namun masih menyimpan banyak kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar