Oleh: Dharma Lubis
Satu ketika, saya lupa kapan persisnya, saya dan seorang teman ngobrol via YM (Yahoo Messenger). Tiba-tiba teman yang bernama Mart itu bilang, “Saya jadi teringat Kak Zaenal, kamu masih ingat kan?” Saya pun menjawab, pasti saya ingat. Teman saya itu pun meminta saya untuk berkunjung ke blog Bung Daktur ARH, sebuah blog yang didedikasikan untuk mengenang beliau.
Ingatan saya pun melesat pada waktu saya ditawari turut serta dalam proyek mendirikan radio Punakwan Jogja dalam rangka pemulihan kembali secara psikologis masyarakat Jogja pasca gempa Mei. Sebelum proyek ini berlangsung, kami para sukarelawan yang diambil dari berbagai radio komunitas di Jogja, diberi bekal dalam bentuk pelatihan. Kebetulan materinya tentang peyiaran dan jurnalistik radio, yang rencana kerjanya dalam jangka waktu beberapa bulan saja.
Salah satu pengisi materi pelatihan itu adalah seorang yang sangat senior di dunia radio nasional. Seorang yang saat pertama kali melihatnya, muncul rasa segan. Bang ZAS, begitu beliau biasa disapa. Dengan baju kaos dan celana pendek nan santai membuat usianya yang terbilang sudah sepuh menjadi jauh lebih muda. Semangat hidupnya membuat rambut putihnya tak bermakna apa-apa. Satu yang paling saya ingat betul selain kumis tebal yang putih, adalah suara berat dan sedikit serak khas penyiar radio zaman dulu, dan mungkin keistimewaan suara seperti beliau yang jarang ditemukan sekarang.
Kalau ditanya seberapa saya mengenal beliau, jujur saja saya tidak terlalu mengenal dekat pribadinya. Wajar saja karena saya baru pertama kali bertemu dengan beliau saat itu, dan menjadi pertemuan yang terakhir. Hanya saja saya pernah diceritakan tentang pribadinya oleh teman saya itu. Kalau saya tidak salah, teman saya bilang, Bang ZAS itu selalu membawa setrika kalau berpergian. Sebuah kebiasaan yang unik menurut saya.
Kesan langsung yang saya terima tentang seorang Bang ZAS, beliau adalah sosok yang keras kemauan. Seorang yang tegas dan teguh pendirian. Ramah pada setiap orang yang dijumpainya. Juga memiliki selera humor yang boleh juga. Seorang jurnalis radio sejati dan tangguh. Seorang motivator dan pemberi semangat. Sosok senior yang tidak pelit berbagi ilmu dan pengalamannya bagi yang muda. Inilah yang harusnya dicontoh oleh broadcaster dan jurnalis muda saat ini.
Walau saya tidak lama terlibat dalam proyek tersebut, namun sempat mendapat sedikit ilmu dan pengalaman yang dibagikan beliau tentang penyiaran. Bagaimana membawakan sebuah talkshow di radio, menjadi presenter dan jurnalis radio yang baik.
Teman saya juga bercerita bahwa dia merasa sedikit menyesal, karena sebelum beliau menutup mata dan meninggalkan kita semua, beliau sempat menyatakan keinginannya untuk makan gudeg Jogja. Namun teman saya belum sempat mengabulkan keinginan beliau, di saat-saat terakhirnya tersebut.