06 Mei 2008

Memperingati 1 Mei: Mengenang Chun Tae-il

Oleh: Arthur John Horoni

Siapakah gerangan Chun Tae-il? Waktu itu, 13 November 1970, ia cuma seorang lelaki muda, buruh yang dibayar amat rendah, tukang potong pakaian di pabrik garmen di Pasar Damai, Seoul, Korea Selatan. Namun hari itu, buruh muda 22 tahun itu menorehkan tragedi yang mengguncang tidak saja Semenanjung Korea, namun dunia: ia membakar dirinya sampai mati, agar nasib buruh Korea berubah menjadi lebih manusiawi. Orang menyebut peristiwa itu sebagai sebuah bentuk deklarasi hak-hak manusia.

Cho Young-rae, penulis biografi Chun Tae-il mencatat: buruh melarat itu meninggal untuk menyingkapkan penderitaan para buruh pabrik yang miskin, sakit, kurang pendidikan, yang bekerja 16 jam sehari di lorong kecil berdebu. Mereka diperas tanpa rasa malu oleh para pengusaha. Tae-il menyatakan, manusia itu sama harganya, apakah ia buruh melarat ataupun majikan yang kaya-raya.

“Di zaman komodifikasi ini,” seru Tae-il, “zaman yang mengerikan, tatkala seseorang bisa merampas segalanya dari orang lain, aku tidak akan berkompromi dengan ketidakadilan seperti apapun, ataupun tinggal diam. Aku mau berjuang maksimal demi keadilan.” Dia berjuang dan mati.

Kaum buruh Indonesia yang selama 10 tahun reformasi ini juga berjuang bagi kehidupan yang lebih baik: ”Buruh berjuang! Delapan jam kerja sehari, 40 jam seminggu, buruh hidup berkecukupan.” Namun jauh panggang dari api. Upah buruh Indonesia masih rendah, jam kerja panjang, jaminan keselamatan kerja buruk, lembur paksa, out sourcing, pemberangusan serikat buruh dan ancaman PHK alias pemutusan hubungan kerja, membayang-bayangi mereka. Bahkan banyak aturan pemerintah termasuk undang-undang yang seharusnya memayungi buruh, diprotes oleh gelombang demonstrasi buruh karena justeru tidak pro buruh.

Kenapa nasib buruh seolah tak putus dirundung malang? Ibarat ujar-ujar pepatah-petitih nenek moyang: sudah jatuh ditimpa tangga lantas digigit anjing gila? Apakah petinggi negara ini lebih berpihak kepada para saudagar ketimbang ralyatnya? Apakah kaum kapitalis birokrat bukan cuma kelas yang hadir di jadul (jaman dulu) orde lama, namun muncul dalam bentuk yang lebih canggih hari ini? Boleh jadi. Namun kaum buruh juga perlu melakukan otokritik: apakah organisasi buruh yang ada cukup kokoh dan tahan uji?

Rasanya belum terlambat untuk belajar dari riwayat Chun Tae-il, pahlawan buruh Korea.

Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBI), pada 3 Mei 2008 akan meluncurkan buku yang mengharukan dari tokoh minjung (rakyat jelata) Korea ini. Acara, Dialog Publik dalam Rangka May Day 2008: Gerakan Buruh Indonesia Pasca 10 Tahun Reformasi dan Peluncuran Buku Biografi Chun Tae-il – Pahlawan Buruh Korea, akan berlangsung di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung Jakarta.

Catatan rinci Cho Young –rae ikhwal kisah hidup Chun Tae-il, perjuangan dan kematiannya dalam biografi ini, membangkitkan kembali hidupnya sebagai cahaya pemandu bagi gerakan buruh. Suara Chun Tae-il membangunkan kesadaran masyarakat yang terlelap dan acuh tak acuh terhadap penderitaan buruh. “Jangan biarkan kematianku sia-sia,” teriaknya saat api menjilat tubuhnya..

Presiden Chun Tae-il Trust, Moon Ik-whan menulis, “cerita sang buruh muda Chun Tae-il telah mencucurkan airmata 60 juta rakyat Korea. Airmata itu membentuk sebuah anak sungai yang mengalir sepanjang sejarah kita, sebuah sungai yang menghanyutkan dinding kematian.”

Saya ingin mengutip butir-butir filsafat perjuangan Chun Tae-il, uraian yang tidak ditulis oleh sarjana di “akademi menara gading”, tetapi oleh pemuda yang tidak tamat sekolah menengah, yang tinggal di gubuk di kawasan pemukiman liar di pinggiran kota Seoul. Melalui butir-butir permenungannya kita mendengar suara manusia yang hidup, berjuang penuh semangat walau sangat menderita.

Kita adalah kaum yang tersingkir. Karena itu harus sadar, bangun dari kebisuan.

  • Kita harus menjadi manusia merdeka yang merasakan sendiri, berpikir sendiri dan melihat dunia dengan mata sendiri, berdasarkan pengalaman sendiri.
  • Kita adalah minjung, rakyat jelata yang harus mengubah rasa rendah diri menjadi percaya diri. Rasa malu menjadi kebanggaan, ketakutan dan pengecut menjadi kemarahan dan keberanian, kebisuan dan pasrah diri menjadi kritis dan setia berjuang. Inilah filsafat yang mengubah budak untuk lahir kembali sebagai manusia.
  • Perubahan total dalam nilai-nilai kaum tertindas merupakan momentum yang memiliki arti yang dalam terutama ketika ia memilih jalan perlawanan dan perjuangan.
  • kita harus bertindak secara revolusioner, menjungkirbalikkan nilai-nilai mapan yang menindas dan berorientasi pada aksi. Berjuang menciptakan tatanan sosial yang saling menghormati sesama manusia. Sebuah masyarakat di mana tidak ada orang yang disingkirkan separti remah-remah yang terbuang, sebuah masyarakat di mana semua orang menjadi satu.
  • Kelemahan manusia adalah kurangnya harapan. Hakekat hidup adalah perjuangan, membuat hari esok lebih baik dari hari ini. Kebenaran adalah suara yang muncul dari hati nurani.
  • Perjuangan kita adalah demi mereka yang diinjak-injak, dilecehkan dan dihina. Semua akan melihat kemarahan yang tak terbendung kepada kelas mapan dan cinta kasih yang membara kepada saudara-saudara yang menderita, dari seorang yang lemah, yang bisa menghancurkan setiap benteng perbudakan.

Pengorbanan Chun Tae-il tidak sia-sia. Karena ia percaya, hanya perjuangan minjung-rakyat yang kompak bersatu dapat membawa kehidupan yang manusiawi. Hanya perjuangan kaum minjung yang dapat mengubah masyarakat. Karena itu, minjung-rakyat harus menjadi tokoh sentral dalam perjuangan.

Hari ini, memperingati 1 Mei, kita mengenang Chun Tae-il, yang di Korea diakui sebagai bapak serikat buruh demokratis. Kini gerakan buruh yang paling kuat di Asia adalah Konfederasi Serikat Buruh Korea (KCTU) yang sudah memiliki wakil di parlemen Korea Selatan.

Buruh Indonesia tak perlu malu belajar dari Chun Tae-il.

Medan, 1 Mei 2008

[Tulisan ini juga dapat dilihat pada Blog Jagat Alit]

1 komentar:

DhaRma Lubis mengatakan...

buruh dan petani termasuk kaum yang paling tidak beruntung di Indonesia ini bahkan di dunia. sejak dulu diperjuangkan tapi hasilnya masih jauh dari yang diinginkan. tidak ada yang pernah dengan semangat mengatakan bahwa cita-citanya adalah menjadi buruh atau petani. kenapa? karna jauh dari sejahtera. tidak populer. ato bisa saja jadi masalah strata. bukan jadi tujuan untuk meraih masa depan. pdahal kalo dibayangkan betapa tidak bisa kita hidup bila tidak ada mereka. pemerintah seakan tidak mau peduli. padahal tenaga mereka di peras, keuntungan diraih tapi kesejahteraannya diabaikan. lembaga yang memperjuangkan? wahmasih bisa dihitung.
bagaimana pegawai negeri? TNI? wah mereka kerap diperhatikan.kesejahteraannya tiap tahun diupayakan untuk terus naik. makanya semua pemburu kerja setiap tahunnya berbondong2 mengantri untuk mendapatkan posisi dan status yang bergengsi sebagai pegawai negeri. masa depan terjamin katanya..yah mau apalagi..

buruh kita masih jadi budak di negara sendiri bahkan dinegara lain. tapi keuntungan dankekayaan masuk ke kantong para majikan dan negara-negara yang punya banyak industri disini.

buruhku pahlawanku!!!